This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 29 Juni 2015

Tuhan Itu Berwarna Hitam (Karya Bayu Gautama)

: Untuk N


Sssttt! Jangan berisik
Di tanah kelahiranku, sedang terjadi pertempuran
Tuhan-ku sedang bertarung dengan Tuhan-mu
Cepat buang KTP-mu!
Sebelum maut menusukkan belatinya di jantungmu

Sssttt....
Sembunyi sini di dekatku
Kita tidak usah ikut-ikut
Biar saja kelewang si merah
Atau pedang si putih
Menebas sesat pikir mereka sendiri

Asalmu dari mana?
Di sini sebaiknya tidak punya Tuhan
Apalagi punya agama

Karenapunya Tuhan yang menempel pada selembar KTP
Seratus orang ditikam ulu hatinya, kemaren
Seratus orang dipenggal lehernya, tadi pagi
Seratus orang ditusuk perutnya, siang tadi
Seratus orang lagi siap dieksekusi, malam nanti
Padahal yang merah dan yang putih
Berasal dari satu budaya yang sama
Samawi!

yang merah merasa paling benar
Begitu juga dengan yang putih

Harusnya Tuhan muncul tadi pagi
Saat bapakku bersama 99 orang lain, dipenggal kepalanya

Biar dua warna itu tahu
Jika Tuhan,
bukan merah atau putih,
seperti yang mereka pikir selama ini

Tapi hitam!



Biodata Penulis
Bayu Gautama: Saat ini menetap di Perum Suka Seuro Blok M-3 Kota Baru, Cikampek.

Laknat (Karya Hamdani Chamsyah)

Laknat

Mereka telah menodai nama Tuhan dengan darah
Melarang sujud, yang mereka anggap sujudku, sujud LAKNAT

Apa yang salah dengan apa yang kusujud?
Hingga mereka menutup tempatku bersujud

Adakah kalam Tuhan yang menyeru pertikaian, pembunuhan,
penyiksaan?
Melarang untuk bersujud dan bersujud seperti yang kau sujud?
Apakah Tuhan telah menyampaikan padamu
Bahwa sujudmu itu benar?

Laknat
Mereka telah menodai nama Tuhan.



Biodata Penulis
Hamdani Chamsyah merupakan sebuah nama pena dari Hamdani. Lahir pada 20 Juli 1999. Mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Fakultas KIP Jurusan PBSI atau Gemasastrin. Karyanya penuh dimuat di media cetak Serambi Indonesia dan Harian Aceh, Detak Unsyiah, dan Aceh Jurnal.

Sajak untuk Kenangan (Karya Pringadi Abdi Surya)

[1]

satu porsi martabak har dan es teh tawar di depan sekolah kita,
jalan
Jenderal Sudirman yng memantik perlawanan dari rakyat
berbambu runcing,
sudah menjadi sejarah yang terpaksa kita salin
di buku harian

sebab jarak sudah memisahkan kita, di dua pulau yang terapung,
di pulau yang menitiskan raja-raja menjadi patung.

[2]

sebab di museum bala putra dewa, kita tidak menemukan
kelaminnya
arca-arca rusak, kolam-kolam yang dulu pernah bulus sudah
tinggal fosil, dan beberapa ensiklopedia dibiarkan nama
terpampang tak berbentuk.

kita duduk di taman, satu-satunya tempat yang menyediakan
burung-burung
terbang, dan sebuah patung cupid buta sedang kencing berdiri
dan menertawakan kita yang tak kunjung bertukar bibir.

[3]

di sisi Sungai Musi, kita bermain tebak-tebakan, di mana
sebenarnya Sriwijaya ditenggelamkan?

ampera yang merah, sungai yang kuning, dan langit yang hitam
seperti
sedang ada seseorang yang belajar menggambar dan gagal
mewarnai.

kita tertawa, menertawakan ia yang mungkin tidak pernah
masuk TK.

[4]

aku katakan kepadamu, dompetku tidak setebal diktat para
mahasiswa
tidak setebal berkas kumpulan kasus pidana dan perdata yang tak
pernah selesai pada keadilan
daripada kita makan di warung legenda, kita ke Jakabaring saja
menemui bapak penjual angkringan yang tabah meneliti minyak
jelatah

ku katakan kepadamu, aku tidak suka memakan kembang gula,
menonton
kembang api, dan merayu kembang desa. Sebab
dadaku terlanjur kembang-kempis untuk mengenangmu yang
jauh
merajut kata-kata yang lepuh,

dulu.

Minggu, 28 Juni 2015

Abad Penuh Laknat (Karya Joshua Igno)

abad penuh laknat
di sudut-sudut kota terpasang
gambar tuhan serupa hantu

wajah-wajah kusam menghuni kota sunyi
cahaya tak pernah datang
hanya seberkas sinar
yang membias dari bulan beku

orang-orang berkerumun di sudut kota
memunguti setiap kalimat para ahli kitab
yang terserak di trotoar jalan
orang-orang semakin berduyun
berebut kalimat para ahli kitab
hanya seorang anak kecil yang menemukan
kata "surga".

Ujung Musim Kemarau (Karya Pringadi Abdi Surya)

Aku tak melihat debu di ujung rambutmu. Bertanya
shampoo apa yang kau gunakan, membuatku
teringat pada wangi dupa yang dibakar di kelenteng.
Kemaren kau tengah menenteng seplastik luka,
aku pikir kenangan tak pernah begitu kejam, malam
kehilangan suara jangkrik, hari-hari dipenuhi influenza.
Selamat tinggal, Cinta; bayangan randu yang meranggas,
seorang gadis duduk di ayunan tua, membiarkan roknya
digeniti angin, tetapi bukan kau, bukan wangi serupa
yang kucium ketika hujan mulai membunuh dirinya
demi luka yang lain.




Biodata Penulis 
Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Terpilih menjadi Duta Bahasa Indonesia tahun 2009. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Dongeng Afrizal (Kayla, 2011). Kini sedang menyiapkan novel trilogi Ganesha .

Sabtu, 27 Juni 2015

Dua Wajah (Karya Ilham Jatioko)

Aku tak bisa menggunjing dusta lautan
Bahkan seandainya angin selingkuh
Air yang asin akan tetap asin

Sebab hujan masih saja turun
Pada hamparan luka di jiwa.





Biodata Penulis
Ilham Jatioko lahir di Kota Metro pada tanggal 9 Juni 1992. Saat ini tinggal di Desa 23 B Karang Rejo, Kota Metro. Bergiat di FLP (Forum Lingkar Pena) cabang Kota Metro.

Jumat, 26 Juni 2015

Cerpen: BENALU part 1 (Karya Sandza)

Cerpen Benalu
KATA mereka ayahku benalu. Ibuku juga. Pamanku, bibiku, sanak saudaraku, dan beberapa tetanggaku juga disebut benalu. Kecuali aku. Ya, kecuali aku yang tidak disebut benalu. Tentu saja mereka tidak menyebutku benalu. Karena ketika ayah dan ibuku disebut benalu, aku masih dalam rahim ibuku, siap-siap akan lahir menjadi benalu.
 
"Siapa penciptamu?" Masih kuingat kalimat tanya tersebut keluar dari mulut daun sebuah pohon besar ketika perut Ibu buncit besar sedang mengandungku.

"Penciptaku sama dengan yang menciptakanmu. Sama dengan pencipta bunga melati, bunga anggrek pohon mangga, pohon durian dan pohon lainnya."

Kulihat dengan jelas ada ranum merah tergambar di pipi ibuku. Mungkin Ibu marah, mungkin juga kesal karena pertanyaan itu selalu dilontarkan berulang-ulang.

"Ah, kamu ini jangan mengaku mempunyai pencipta yang sama. Buktinya mana kalau penciptaku dan penciptamu sama? Jelas-jelas kamu memilih jadi benalu daripada pohon. Itu sudah jadi bukti kalau penciptaku dan penciptamu beda!"

"Benalu? Itu kan hanya istilah-istilahan kamu saja. Aku merasa kalau akau ini pohon. Sama seperti kamu".
"Oh tidak, kamu sudah keluar dari kerajaan kami. Tidak ada yang namanya pohon benalu".
"Sekali lagi aku tegaskan. Aku ini pohon benalu!"

"Sekali benalu tetap benalu!

"Dalam jangka waktu tertentu, satu atau dua pohon berubah menjadi benalu. Pohon-pohon merasa terancam kelestariannya. Oleh karena itu mereka berkelompok mencoba memusnahkan benalu. Mereka merasa keberatan benalu-benalu tersebut akan membuat resah penghuni kebun, akan mengubah pola pikir sehat mereka, akan memudarkan tingkat kepercayaan kepada Sang Pencipta.

Maka perlahan-lahan dipisahkannya benalu itu dari raga mereka. Ada yang ditempatkan ditanah kebun paling tinggi supaya benalu-benalu tersebut tidak bisa merasakan sejuknya air sungai atau agar benalu tersebut tidak makan dan minum semeja dengan mereka, karena kalau hal tersebut dilakukan, berarti mereka mendukung metamorfosis pohon menjadi benalu.

Sebagian benalu lainnya ada yang ditempatkan di tempat tandus. Mereka membiarkan benalu-benalu tersebut menghirup saripati kehidupan dari batu-batu cadas. Akar-akar benalu tersebut dibiarkan bermain diatas pasir. Sudah dapat ditebak, ketika mentari menyengat, benalu-benalu tersebut harus merenggang ke panasan karena pasir-pasir mulai mendidih mengeluarkan ajian pemanas diri.

Ada lagi yang lebih mengenaskan. Benalu-benalu tersebut dimasukkan ke dalam sangkar. Sungguh itu bukan perbuatan hati. Aku yang ketika itu baru berumur beberapa bulan, sudah mengetahui kalau kami bukan burung. Kami sama seperti mereka, memiliki dan dan akar. Kami hanya bisa mengarungi hidup sebagaimana mestinya jika berkawan karib dengan tanah, air, dan cahaya matahari yang akan meremajakan daun-daun kamu. Ruang bersel itu jelas akan membuat daun kami segera bertemu dengan ulat-ulat, mengering dan layu sebelum berkembang.

Entah bagaimana ekspresi wajahku ketika melihat pemilik kebun hanya diam terpaku melihat pertumpahan darah di kebun miliknya sendiri. Ingin rasanya aku marah berteriat sekencang-kencangnya. Namun, aku tidak memiliki daya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Kulihat pemilik kebun hanya ongkang-ongkang kaki. Dikiranya ini adalah sebuah pertunjukan film laga yang mana darah-darah yang dianggap cat tembok bisa dibeli dengan sejumlah rupiah.

                                                                              ***

UMURKU mulai beranjak, walau belum menyentuh ranah dewasa. Ketika situasi kebun tempat tinggalku semakin memanas, Ibu menyuruhku untuk pergi merantau ke kebun seberang dengan harapan agar aku bisa hidup tenang dan berkembang secara wajar. Walau Ibu meyimpan sedikit cemas, cemas kalau aku tidak bisa menjadi sepertinya, cemas jika di kebun tetangga aku akan hidup tidak seperti Ibu, Ayah, Bibi, Paman, dan beberapa tetangga yang sering kali masih disebut benalu oleh kelompok-kelompok yang menamakan dirinya pohon.