Jumat, 26 Juni 2015

Cerpen: BENALU part 1 (Karya Sandza)

Cerpen Benalu
KATA mereka ayahku benalu. Ibuku juga. Pamanku, bibiku, sanak saudaraku, dan beberapa tetanggaku juga disebut benalu. Kecuali aku. Ya, kecuali aku yang tidak disebut benalu. Tentu saja mereka tidak menyebutku benalu. Karena ketika ayah dan ibuku disebut benalu, aku masih dalam rahim ibuku, siap-siap akan lahir menjadi benalu.
 
"Siapa penciptamu?" Masih kuingat kalimat tanya tersebut keluar dari mulut daun sebuah pohon besar ketika perut Ibu buncit besar sedang mengandungku.

"Penciptaku sama dengan yang menciptakanmu. Sama dengan pencipta bunga melati, bunga anggrek pohon mangga, pohon durian dan pohon lainnya."

Kulihat dengan jelas ada ranum merah tergambar di pipi ibuku. Mungkin Ibu marah, mungkin juga kesal karena pertanyaan itu selalu dilontarkan berulang-ulang.

"Ah, kamu ini jangan mengaku mempunyai pencipta yang sama. Buktinya mana kalau penciptaku dan penciptamu sama? Jelas-jelas kamu memilih jadi benalu daripada pohon. Itu sudah jadi bukti kalau penciptaku dan penciptamu beda!"

"Benalu? Itu kan hanya istilah-istilahan kamu saja. Aku merasa kalau akau ini pohon. Sama seperti kamu".
"Oh tidak, kamu sudah keluar dari kerajaan kami. Tidak ada yang namanya pohon benalu".
"Sekali lagi aku tegaskan. Aku ini pohon benalu!"

"Sekali benalu tetap benalu!

"Dalam jangka waktu tertentu, satu atau dua pohon berubah menjadi benalu. Pohon-pohon merasa terancam kelestariannya. Oleh karena itu mereka berkelompok mencoba memusnahkan benalu. Mereka merasa keberatan benalu-benalu tersebut akan membuat resah penghuni kebun, akan mengubah pola pikir sehat mereka, akan memudarkan tingkat kepercayaan kepada Sang Pencipta.

Maka perlahan-lahan dipisahkannya benalu itu dari raga mereka. Ada yang ditempatkan ditanah kebun paling tinggi supaya benalu-benalu tersebut tidak bisa merasakan sejuknya air sungai atau agar benalu tersebut tidak makan dan minum semeja dengan mereka, karena kalau hal tersebut dilakukan, berarti mereka mendukung metamorfosis pohon menjadi benalu.

Sebagian benalu lainnya ada yang ditempatkan di tempat tandus. Mereka membiarkan benalu-benalu tersebut menghirup saripati kehidupan dari batu-batu cadas. Akar-akar benalu tersebut dibiarkan bermain diatas pasir. Sudah dapat ditebak, ketika mentari menyengat, benalu-benalu tersebut harus merenggang ke panasan karena pasir-pasir mulai mendidih mengeluarkan ajian pemanas diri.

Ada lagi yang lebih mengenaskan. Benalu-benalu tersebut dimasukkan ke dalam sangkar. Sungguh itu bukan perbuatan hati. Aku yang ketika itu baru berumur beberapa bulan, sudah mengetahui kalau kami bukan burung. Kami sama seperti mereka, memiliki dan dan akar. Kami hanya bisa mengarungi hidup sebagaimana mestinya jika berkawan karib dengan tanah, air, dan cahaya matahari yang akan meremajakan daun-daun kamu. Ruang bersel itu jelas akan membuat daun kami segera bertemu dengan ulat-ulat, mengering dan layu sebelum berkembang.

Entah bagaimana ekspresi wajahku ketika melihat pemilik kebun hanya diam terpaku melihat pertumpahan darah di kebun miliknya sendiri. Ingin rasanya aku marah berteriat sekencang-kencangnya. Namun, aku tidak memiliki daya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Kulihat pemilik kebun hanya ongkang-ongkang kaki. Dikiranya ini adalah sebuah pertunjukan film laga yang mana darah-darah yang dianggap cat tembok bisa dibeli dengan sejumlah rupiah.

                                                                              ***

UMURKU mulai beranjak, walau belum menyentuh ranah dewasa. Ketika situasi kebun tempat tinggalku semakin memanas, Ibu menyuruhku untuk pergi merantau ke kebun seberang dengan harapan agar aku bisa hidup tenang dan berkembang secara wajar. Walau Ibu meyimpan sedikit cemas, cemas kalau aku tidak bisa menjadi sepertinya, cemas jika di kebun tetangga aku akan hidup tidak seperti Ibu, Ayah, Bibi, Paman, dan beberapa tetangga yang sering kali masih disebut benalu oleh kelompok-kelompok yang menamakan dirinya pohon.

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran Anda sangat kami butuhkan. Berkomentarlah dengan sopan dan tidak mengandung spam