Sabtu, 04 Juli 2015

Cerpen: BENALU part 2 (Karya Sandza)

Cerpen Benalu
"Kamu siapa?" Sebatang kuntum bunga yang tubuhnya menghembuskan wangi kasturi menyapaku yang sedang kebingungan.
"Aku pohon.....pohon...." Ah, aku benar-benar tidak tahu kalau akau ini pohon apa.
"Pohon?" kuntum bunga itu mengernyitkan keningnya tiga lipat.
"Iya, memangnya kenapa? Memangnya ada yang aneh denganku?"
"Kamu kelihatan berbeda saja. Di kebun ini tidak ada yang memanjatkan doa seperti yang kamu lakukan."
Kuntum bunga itu tersenyum manis sekali. Mulut daunnya tidak menyanyikan nada sinis atau memasang wajah masam. Damai. Sejuk. Aku seperti berada di negeri khayalan.
"Jadi aku ini bukan pohon, ya?"
"Siapa yang mengatakan kamu bukan pohon? Kamu hanya berbeda saja. Itu hasil pengamatanku."
"Pantas saja mereka mengatakan ibuku, ayahku, bibiku, pamanku, dan beberapa tetanggaku dengan sebutan benalu."
"Benalu? Siapa yang mengatakan keluargamu benalu?"
"Pohon mangga, pohon apel, bunga mawar, bunga anggrek, dan pohon-pohon lainyya yang berada di kebun tempat tinggal ku".
"Pohon seperti itukah yang kau maksud?" Telunjuk kuntum bunga menunjuk sekumpulan pohon dengan buah berkulit hijau yang baru dilihat saja, ranumnya sudah terasa.
"Itu pohon apa?"
"Itu kan pohon mangga. Kamu tadi menyebut nama pohon itu, kan?"
"Iya. Tapi di kebun tempat tinggalku, pohon yang mengaku dirinya pohon mangga tidak pernah berbunga, apalagi berbuah. Yang ada hanyalah ranting-ranting kering dengan urat-urat panjang siap mencambuki siapa saja yang ada didekatnya."
"Wah mana ada pohon mangga seperti itu? Emmhh....atau yang seperti itu?" Kuntum bunga wangi itu menunjuk pohon dengan kelopak merah indah.
"Itu apa?"
"Itu namanya bunga mawar."
"Wah indah sekali, ya. Di kebun tempat tinggalku, pohon yang mengaku bunga mawar itu tidak ada indahnya, kelopaknya berwarna hitam pekat, berbau tidak sedap, dan selalu memuntahkan benang sari beracun."
"Penghuni kebun tempat tinggalmu pohon-pohon kan?"
"Ya, mereka mengaku kalau mereka itu pohon. Hanya keluargaku saja yang disebut benalu oleh mereka."

Bunga yang tak henti-hentinya mengeluarkan wangi di tubuhnya itu akhirnya menuntunku dengan lembut. Kesabarannya telah membuktikan suatu metamorfosis sesungguhnya. Dididiknya aku untuk menjadi pohon sesungguhnya. Higga usiaku menginjak ranah dewasa, aku telah berhasil menjadi pohon dan meninggalkan gelar benalu yang sudah melekat erat semenjak lahir.Ketika kutanyakan apakah aku sudah menjadi pohon sejati, dia menjawab: aku akan menjadi pohon sejati jika sudah mengubah benalu menjadi pohon dengan kelembutan, kesabaran, dan keikhlasan, bukan dengan kekerasan. Maka, ketika aku dirasa memiliki daya yang cukup, aku pamit pulang kembali ke kebun tempat tinggalku.

Alangkah terkejutnya aku, ketika kebun tempat tinggalku sudah bertebaran bola-bola api yang siap melahap siapa saja yang tersambar olehnya. Mataku membulat besar sekali. Kalau bisa, ingin melebihi besarnya bola api itu kala kulihat pemilik kebun masih ongkang-ongkang kaki seperti melihat pertunjukan hiburan gratis. Padahal, telingaku dari jauh tadi sudah mendengar suara lolongan panjang meminta keadilan.

Semakin mendekat, semakin aku mengetahui apa yang terjadi di kebun tempat tinggalku. Dulu, mungkin aku tidak mengerti. Ketika mereka mengatakan keluargaku benalu adalah sebangsa kerajaan pohon. Oh tidak, mataku kini telah dewasa, kepalaku kini sudah bisa membedakan yang mana pohon, yang mana benalu. Ternyata, mereka lebih benalu daripada ibu, ayah, paman, dan bibiku!

                                                                                     ***





Biodata Penulis
Sandza adalah nama pena dari Irwan Sanja. Pengajar salah satu Lembaga Pendidikan Mental Aritmatika di Kota Sumedang, Jawa Barat. Karya-karyanya diterbitkan dalam 20 buku antologi bersama. Penulis bisa dikenaal lebih dekat di akun FB: Ir-one Sandza dan e-mail: irwansanja@rocketmail.com.

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran Anda sangat kami butuhkan. Berkomentarlah dengan sopan dan tidak mengandung spam