Rabu, 08 Juli 2015

Cerpen: IBLIS Part 1 (Karya Cresna Crenata)



Iblis (Karya Kresna Crenata)
(Sebuah panggung. Seseorang. Hanya satu lampu menyala.)

BAIKLAH. Saya mulai cerpen ini dengan sebuah pernyataan: saya adalah iblis. Kamu mungkin tertawa mendengarnya. Silahkan saja. Terserah. Justru semakin keras kamu tertawa, semakin kamu tidak percaya pada pernyataan saya, semakin saya diuntungkan. Karena dengan begitu, saya bias lebih leluasa mempermainkan kamu, membuatmu berfikir bahwa selama ini kamu telah berada di jalan yang benar. Padahal jalan yang kamu temouh itu adalah jalan yang salah. Terlepas dari kamu percaya atau tidak, saya lebih tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Adapun mengapa saya terus menempuh jalan yang salah, itu karena saya tidak punya pilihan. Tuhan-mu telah menutup pintu surge untuk saya. Betapapun saya berbuat baik untuk menebus dosa saya. Ia tak akan mengizinkan saya memasuki surga lagi. Karenanya, daripada melakukan hal yang sia-sia , lebih baik saya menjerumuskan sebanyak mungkin manusia untuk menemani saya nanti di neraka. Ya, itu jauh lebih masuk akal, bukan? Dan kamu, adalah manusa berikutnya yang akan saya jerumuskan. Dan berapa beruntungnya saya, kamu tidak menyadari upaya saya ini.
                Apa itu? Mereka sedang membangun apa?
                Mereka sedang membangun gereja.
                Gereja?
                Ya, Gereja.
                Yang benar saja? Masa ia di kawasan ini dibangun sebuah gereja.
                Memangnya kenapa?
                Di kawasan ini mayoritas penduduknya muslim.
                Kamu tersenyum. Saya pun tersenyum, tapi dengan alasan yang berbeda. Untuk kesekian kalinya saya terheran-heran , mengapa Tuhan mengutus manusia untuk berkuasa di dunia. Padahal, manusia seperti halnya kamu, begitu bodoh. Cara manusia berfikir, caramu berfikir, begitu dangkal. Kamu beranggapan bahwa di kawasan yang mayoritas penduduknya muslim tidak semestinya sebuah gereja didirikan. Kamu merasa anggapanmu ini benar. Ya, teruslah begitu. Berpeganglah teguh pada anggapanmu itu. Saya jamin, tinggal menunggu waktu sampai saya benar-benar berhasil menjerumuskan kamu. Tentu saja, saya tak mengatakan hal ini kepadamu. Alih-alih demikian, saya berbohong kepadamu dengan mengatakan bahwa anggapanmu itu memang benar. Bagi saya, satu kebohongan lagi tak jadi soal. Toh, dengan berkata jujur pun, saya tetap akan dimasukkan ke neraka. Berbohong bagi saya jauh lebih masuk akal kketimbang berkata jujur.
                Beberapa minggu kemudian, saya mengingatkan kamu akan bangunan itu. Pada awalnya kamu tak tertarik. Kamu masih yakin bahwa apa yang sedang di bangun itu bukanlah gereja. Saya kembali tersenyum. Menghadapi manusia sepertimu memang harus saabar. Saya pura-pura meengalah. Saya ajak kamu untuk menghirup udara segar, dan kamu mau. Kamu pun melangkah meninggalkan rumahmu dengan santai, sambil melihat-lihat pemandangan di kiri dan kanan. Kebetulan, cuaca hari itu cukup segar. Meskipun kendaraan
banyak berlalu lalang menyisakan asap knalpot, warna langit, bentuk awan, dan gemerisik angin di dedaunan cukup mampu mengganti kekesalanmu dengan ketenangan. Saya menemanimu. Langkah demi langkah. Detik demi detik. Sesekali saya ajak kamu memikirkan hal-hal sepele yang sama sekali tak penting. Hanya untuk mengalihkan perhatianmu. Pada akhirnya, kamu telah berada di tempat yang sama seperti waktu itu. Lihatlah, di seberang sana adalah bangunan yang waktu itu kamu tanyakan.
                Aku mendengar sesuatu dari sana. Apa yang sedang mereka lakukan?
                Kamu tidak sedang bertanya pada saya. Kamu hanya menyuarakan pikiranmu keras-keras. Kamu tahu persis apa yang sedang mereka lakukan di bangunan yang baru setengah jadi itu.
                Mereka sedang bernyanyi?
                Ya,  mereka sedang bernyanyi.
                Kebaktian?
                Ya, inikan hari Minggu, hari untuk mereka beribadah.
                Jadi bangunan itu…gereja?
                Saya menahan diri untuk tidak tertawa. Dasar bodoh. Beberapa minggu yang lalu saya katakana bahwa mereka sedang membangun gereja,tapi kamu tidak percaya.
                Saya melihat  kamu begitu terkejut. Bukan hanya itu, kamu gelisah. Kamu merasa terganggu. Barangkali, seseorang yang sejak kecil hidup di lingkungan masyarakat yang homogeny secara keyakinan sepertimu, sulit menerima kenyataan bahwa di kawasan tempat kamu tinggal, sebuah gereja akan di bangun. Jujur saja, saya tidak merasa ada yang salah dengan itu. Kalau saya boleh berpendapat, saya akan mengatakan bahwa dibangunnya gereja di seberang itu adalah sesuatu yang wajar. Lagi pula, umat Kristiani di kawasan ini bukan satu-dua orang, melainkan cukup banyak. Namun tentu saja, kepadamu, saya berbohong dengan mengatakan bahwa di kawasan ini umat Kristiani tidak cukup banyak, sehingga tidak perlu ada gereja. Menyaksiakan kamu begitu gundah, kesal, dan bahkan marah, saya bbegitu gembira. Rasanya saya semakin dekat saja membawamu ke jalan nyata menuju neraka.
                Hari itu saya  terus meyakinkan kamu bahwa pembangunan gereja itu harus di hentikan. Sekali lagi, saya berpura-pura menjadi temanmu, sahabatmu. Saya menyambut dengan hangat keinginanmu untuk membicarakan hal ini denga teman-temanmu. Saya mendukungmu sepenuhnya. Dari siang sampai sore, saya menemanimu menemui beberapa orang dan menceritakan gereja yang sedang dibangun itu. Tak setiap orang yang kamu temui tertarik dengan ajakanmu untuk menghentikan pembangunan gereja itu. Ada yang merasa itu wajar-wajar saja dan tak perlu dipermasalahkan. Kamu kesal. Saya senang. Saat itulah saya ajari kamu salah satu cara menarik massa, yaitu dengan menyampaikan hal-hal yang berlebihan. Misalnya, kamu bisa mengatakan bahwa suara dari mereka yang menyanyikan puji-pujian itubsangat mengganggu. Katakan saja bahwa suara mereka terdengar nyaring hingga ke seberang jalan, bahkan masih terdengar hingga jarak yang lebih jauh. Tentu saja itu sudah termasuk bohong. Kenyataannya saat kamu berada di seberang gereja yang sedang di bangun itu, kamu hanya mendengar samar-samar suara mereka. Tapi tak apa. Kebohongan-kebohongan kecil kadang diperlukan untuk meraih apa yang kamu inginkan.
                Malam harinya, kamu sudah berhasil meyakinkan orang-orang itu untuk mendukungmu menghentikan pembangunan gereja. Saya lalu mengusulkan kepadamu untuk mendatangi rumah Ketua RT untuk berada di pihakmu. Dan kamu berhasil. Langkah selanjutnya adalah mendatangi rumah Ketua RW, tentu saja dengan di temaani Ketua RT.
                Meyakinkan Ketua RW rupanya tidak semudah meyakinkan Ketua RT. Berbeda denganmu dan teman-teman yang kamu bawa, Ketua RW rupanya tahu betul tentang pembangunan gereja itu. Dia bahkan menyatakan tidak keberatan dan mengizinkan pembangunan gereja itu. Membiarkan dia menjelaskan lebih banyak akan membuat saya repot, sebab ada beberapa fakta yang selama ini sengaja saya sembunyikan darimu. Kalau kamu sampai mengetahui fakta-fakta itu, bahwa gereja itu sudah memiliki IMB, bahwa sudah ada izin dari penduduk setempat, bahwa hari pertama pembangunan gereja disaksikan oleh tokoh masyarakat, ulama, dan orang-orang dari Kepolisian dan Pemerintah Kota, bias-bisa kamu membanting setir, mendukung pembangunan gereja itu. Maka saya kompor-kompori kamu. Saya suruh kaamu mengompor-ngompori orang-orang yang kamu bawa. Akhirnya, terjadilah pertenngkaran hebat antara kalian dan Ketua RW. Sesungguhnya saya senang-senang saja melihat kalian bertengkar. Tapi, saya terpaksa mengusulkan kepadamu untuk menghentikan pertengkaran, sebab tujuan utama saya bias terganggu. Kamu pun akhirnya berhasil membujuk mereka untuk bicara baik-baik, dan berhasil pula untuk membuat Ketua RW berada di pihakmu, meskipun dia terlihat terpaksa. Malam itu, kalian pun sepakat untuk menyusun rencana agar pembangunan gereja itu dihentikan.
                Dan hari Minggu ini adalah untuk kesekian kalinya kamu bersama teman-temanmu melakukan demonstrasi di dekat lokasi gereja yang baru setengah jadi itu. Sayup-sayup kamu dengar suara mereka yang sedang bernyanyi di sana. Saya tau, sebenarnya kamu tidak terganggu dengan suara itu, sebab suara mereka hanya samar terdengar. Kamu justru terganggu oleh suara teman-temanmu yang denga gampangnya meneriakkan takbir, menyebut-nyebut nama Tuhan-mu, tanpa mereka benar-benar paham apa yang sesungguhnya sedang mereka lakukan, menghalangi suatu umat  beragama untuk melakukan ibadah di sebuah negeri yang menjunjung tinggi kebebasan beragama.
                Kamu terkadang meragukan tindakanmu. Pada saat itulah saya mati-matian meyakinkan kamu bahwa kamu melakukan hal yang benar. Ya, tentu saja saya berbohong. Tapi, kamu memang selalu bias saya bohongi. Kamu ini benar-benar bodoh.

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran Anda sangat kami butuhkan. Berkomentarlah dengan sopan dan tidak mengandung spam