Kamis, 09 Juli 2015

IBLIS Part 2 (Karya Ardy Kresna Crenata)

KAMU berhasil. Kamu dan teman-temanmu berhasil. Dengan terus melakukan upaya-upaya penolakan pembangunan gereja itu, mulai dari demonstrasi di hari Minggu ketika misa kembali dilakukan di sana, sampai pendekatan-pendekatan persuasif kepada masyarakat sekitar untuk menambah kuat dukungan, akhirnya Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan: menghentikan paksa pembangunan gereja itu dan menyegelnya. Kamu senang. Tentu saja. Saya pun senang karena dua hal. Pertama, saya semakin nyata membawamu menuju neraka. Kedua, saya bangga dengan apa yang telah dilakukan salah satu kerabat saya. Ia, berhasil dengan sempurna membujuk Wali Kota untuk mendukung seluruh upayamu. Meski mereka yang berada di pihak pembangunan gereja telah menempuh jalur pengadilan dan menenangkannya hingga tingkat paling tinggi di negeri ini, yang berarti putusan pengadilan tersebut mutlak dijalankan. Wali Kota tetap bergeming. Lebih jauh lagi, kerabat saya itu bahkan berhasil membuat Sang Wali Kota mengucapkan tegas bisikan-bisikannya. Salah satunya sebuah komentar yang telah kamu baca di media massa: penyegelan gereja dan pencabutan IMB yang dilakukan Pemerintah Kota adalah demi keamanan bersama. Membacanya, kamu tersenyum. Saya juga.


Tanpa sepengetahua kamu saya pernah diam-diam menemui kerabat saya itu. Kami membahas pernyataan Wali Kota itu. Pengakuannya pada saya, Meyakinkan orang itu sebenarnya tidak mudah. Pernah suatu hari ia berpikir mencabut kata-katanya dan mengeluarkan kembali izin pembangunan gereja itu, gara-gara seorang teman dekatnya mengiriminya SMS: kebenaran semestinya ditegakkan, meski itu datangnya dari yang sedikit. Beberapa malam ia tak bisa tidur memikirkannya, atau tidur tapi terbangun karena mimpi buruk. Kukatakan padamu, hampir saja ia membelot. Hampir saja. Tapi aku gencar meyakinkannya. Tapi aku teguh menghasudnya. Akhirnya, seperti yang kau tahu sekarang, ia masih setia membela mereka para pendosa itu, para pendusta itu. Hahaha...."

Setelah mendengar pengakuannya, entah kenapa, saya jadi semakin bersemangat, seperti baru saja tubuh saya ini dimasuki cairan yang memompa jantung lebih cepat. Saya berdebar-debar. Saya berdebar-debar. Saya bayangkan upaya saya ini berhasil dan kelak sungguh-sungguh kamu masuk ke neraka., seperti manusia-manusia lainnya yang pernah saya jerumuskan. Semaki hari, semakin gila saya meyakinkanmu bahwa tindakanmu ini benar. Setiap kali tampak kamu mulai ragu, seperti ketika kamu liat anak-anak yang mengikuti misa di trotoar itu menatap sedih pada matamu, saya merapatkan diri kepadamu., mendekatkan bibir saya ketelingamu, membisikkan lagi kata-kata hingga kamu kembali percaya. Seperti juga ketika kamu dan teman-temanmu menggunakan paksa trotoar di depan gereja itu untuk para pedagang lima, dan setelahnya kamu menyadari itu keliru sebab trotoar sesungguhnya adalah tempat orang berjalan kaki, bukan berjualan. Saya mati-matian membisikimu. Hingga kamu pun kembali ke dalam kuasa saya. Dan saya merasa lega karenanya. Sungguh lega. Saya tertawa dan tertawa. Tentu saja, kamu tak mendengar tawa saya itu.


                                                                 ***

MESKI saya merasa kamu telah sepenuhnya berada dalam kuasa saya, saya belum juga puas. Selanjutnya saya ajak kamu ke warnet. Saya ajak kamu mencari-cari isu pembangunan gereja yang dihentikan itu lewat internet. Saya ajak kamu membaca denga sabar forum demi forum, situs demi situs, blog demi blog. Sambil kamu terus membaca, saya terus membisiki kamu tentang perlunya memperkeruh suasana. Saya pun mengajarimu bagaimana melakukannya.

Setelah membaca habis suatu forum yang membahas hal ini, saya menyuruhmu untuk menuliskan komentar yang benar-benar menghina salah satu umat beragama. Itu tentu saja untuk memancing komentar pedas lainnya, yang bisa jadi bertentangan, atau bisa jadi mendukung. Kalau tidak ada juga yang melawan komentarmu itu, kamu tinggal menggunakan identitas lain dan berpura-pura menjadi orang yang tersinggung dan melancarkan serangan balik. Dengan kata lain, kamu menjadi dua orang dengan pendapat yang bertentangan untuk mengacaukan suatu forum. Teruslah seperti itu dan kamu akan menyaksikan sendiri komentar demi komentar lainnya bermunculan. Situasi akan semakin keruh. Kamu akan tersenyum. Saya akan kembali tertawa.

Dan malam ini adalah malam Natal. Dan telah satu jam kamu dan teman-temanmu kembali melakukan demonstrasi penolakan. Sementara mereka terus bernyanyi, kamu dan teman-temanmu terus mengganggu. Seperti halnya teman-temanmu, kamu merasa tindakanmu ini benar. Padahal, jika saja kamu mau berfikir jernis, kamu akan tahu, bahwa apa yang kamu lakukan ini adalah suatu kesalahan. Mudah saja untuk membuktikannya. Balik saja situasinya. Kamu dan teman-temanmu sedang merayakan Idul Fitri, dan mereka mengganggu kalian dengan berdemonstrasi dan bernyanyi. Bagaimana? Saya yakin seratus persen, bahkan tiga ratus persen, kalian tidak akan menerima perlakuan itu. Dan itulah yang kini sedang terjadi. Mereka berusaha bernyanyi dengan khidmat. Sementara kamu dan teman-temanmu mengganggu mereka. Untuk kesekian kalinya, saya kembali tersenyum puas dan mulai tertawa dan tertawa, sampai perut saya sungguh sakit karenanya.


(Selesai. Mereka yang mendengarkan hanya diam. Tak ada tepuk tangan. Tak seperti pembacaan sebelumnya. Lalu pelan-pelan, satu-satu, lampu-lampu lain menyala.)

                                                                      ***



Biodata Penulis
Ardy Kresna Crenata: Kuliah di Institut Pertanian Bogor, bergiat di Komunitas Wahana Telisik Seni-Sastra (WTS). Kumpulan cerpennya yang segera terbit- yang memenangkan Sayembara Buku Indie 2011- berjudul Pendamping (Indie Book Corner).

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran Anda sangat kami butuhkan. Berkomentarlah dengan sopan dan tidak mengandung spam